Tuesday, April 3, 2007

UU No 10 Tahun 2004 di Mata DPD


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepertinya tidak lelah berupaya menata sistem ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Setelah mengusung ide perubahan kembali konstitusi dasar tersebut, lembaga legislatif yang lahir berkat reformasi ini kemudian mengusung perlunya perubahan Undang-Undang Susduk DPR, MPR, dan DPD dan DPRD. Sekarang, lembaga ini pun mengusung wacana perlunya melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

Arah yang ingin dicapainya sudah jelas, yakni menghendaki adanya keseimbangan kewenangan di parlemen agar tercipta prinsip “check and balances” yang menjadi salah satu pokok pikiran dalam perubahan UUD 1945. Keinginan tersebut sangat tergambar jelas dalam naskah akademik perubahan UU No 10 Tahun 2004 yang telah disahkan di Sidang Paripurna DPD ini 22 Maret lalu.

Lembaga ini menggambarjkan bahwa perkembangan kehidupan politik, hukum, dan ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945, menjadi fase penting bagi proses transisi Indonesia menuju demokrasi mencakup proses perubahan yang mendasar di bidang ketatanegaraan. Adanya perubahan UUD 1945, lembaga Negara mempunyai kedudukan yang sederajat sesuai dengan fungsinya. Kedaulatan tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada lembaga tertinggi, namun dilaksanakan menurut UUD 1945 dan penyebarannya diserahkan kepada lembaga-lembaga Negara. Perubahan pada Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang”, menjadi dasar terbentuknya DPD ketika itu.

Kehadiran DPD idealnya mampu membenahi kehidupan ketatanegaraan dan mendorong demokratisasi sebagai alternatif solusi atas pola penataan sistem politik yang sentralistik sepanjang lima dasawarsa terakhir. Kondisi obyektif negara Indonesia yang mengenal kemajemukan menjadi faktor pendukung adanya kebutuhan sebuah dewan yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat yang majemuk ini secara struktural. DPD dinilai memiliki peran strategis sebagai institusi formal di tingkat nasional yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat di daerah. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

Kehadiran DPD dalam konstelasi politik ketatanegaraan Indonesia dianggap tepat untuk merepresentasikan daerah-daerah dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional khususnya menyangkut proses pengambilan keputusan politik terhadap persoalan yang berkaitan langsung dengan daerah serta dapat melahirkan korelasi yang positif dalam menjaga keutuhan wilayah Negara dan Persatuan Nasional.

Masalahnya adalah, hingga saat ini masih ada perbedaan pemahaman tentang kewenangan legislasi DPD. Hal ini dapat dilihat dalam UU No 10 tahun 2004 yang sama sekali tidak memperhatikan kewenangan legislasi DPD. Jika kewenangan DPD itu dibaca berdasar filosofi dan substansinya, maka seharusnya UU No 10 tahun 2004 memaksimalkan terminologi “dapat” yang tertulis dalam Pasal 22D UUD 1945. dalam arti, DPD dapat pula mengajukan RUU dan terlibat secara langsung dalam pembahasan suatu RUU yang terkait dengan kewenangan DPD.

Kewenangan DPD dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 sangat terbatas. Kelemahan mendasar dalam UU ini adalah tidak dimasukkannya DPD dalam proses perencanaan. Pada tahap pembentukan undang-undang yang tertuang dalam Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa RUU, baik yang berasal dari DPR, Presiden, maupun DPD disusun berdasarkan Prolegnas. Keterlibatan DPD pada tahap perencanaan penyusunan Prolegnas yang diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UU Nomor 10 Tahun 2004 tidak disebutkan. Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) hanya mencantumkan DPR yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan khusus yang menangani bidang legislasi dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.

Begitu juga Pasal 17 ayat (3) mengenai pengajuan RUU diluar dari Prolegnas, hanya DPR atau Presiden saja yang dapat mengajukan RUU diluar dari Prolegnas, sedangkan kewenangan DPD dalam pengajuan RUU diluar dari Prolegnas tidak dicantumkan, maka tidak ada peluang bagi DPD untuk mengajukan RUU diluar dari Prolegnas. Padahal, Prolegnas merupakan proses penting dalam perencanaan penyusunan undang-undang. Sebab, berdasarkan Prolegnas inilah undang-undang yang akan diproritaskan dalam periode kerja DPR dan DPD disusun. n

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Jurnal Nasional 2 April 2007